Resensi Oleh: Tora Kundera*
“seseorang diam-diam menghilang
masuk ke dalam mimpi dan tak pernah kembali
karena malam sudah begitu sialan”
Demikianlah bunyi salah satu puisi Mustafa Ismail yang ada didalam buku kumpulan puisi karyanya yang diberi judul ‘Tuhan, Kunang-kunang dan 45 Kesunyian’ yang baru terbit bulan ini, Maret 2025. Buku ini adalah cetakan kedua dari sebelumnya yang pernah terbit pada Agustus 2016.
Membaca Mustafa Ismail dalam buku kumpulan puisinya yang ini, kita diajak berkenalan dengan ‘tuhan’ dalam tubuh puisi Mustafa dari hal sederhana dalam kehidupan keseharian. Misalkan dalam puisi ‘Tuhan dalam Kereta Ekonomi’;
“kau tak bertanya apakah tuhan sedang lewat
ketika seseorang, entah darimana, datang dengan sayap biru
meski tak juga mengusir gigilmu”
‘tuhan’ dalam puisi ini, seperti sebuah ‘harapan pertolongan’. Sang penyair menyaksikan betapa mirisnya perempuan bertubuh ringkih didalam kereta ekonomi yang tergopoh-gopoh, tidak bisa berbuat sesuatu, sehingga harapan terakhir dikala ‘pasif’ adalah ‘tuhan sang maha penolong’.
Sosok ‘tuhan’ memang seringkali muncul sebagai sebuah ‘harapan penolong’ dalam kondisi-kondisi miris maupun tragis pada sebuah keadaan. Peristiwa seperti ini sering menjadi inspirasi bagi penyair yang gatal untuk segera menggarukkan penanya kedalam kertas untuk membuat puisi.
Sementara dalam puisi berjudul ‘Bukan Tuhan’, sosok tuhan seakan bisa dipalsukan selayak nabi palsu, rosul palsu, dukun palsu, ulama palsu atau habib palsu. Bisa kita lihat dari penggalan puisinya:
“maafkan aku tidak bisa mengirim sekerat cokelat untukmu pagi ini
atau mengutip sepotong ayat dari mulut para pendengkur
yang kerap melelapkanmu ditelevisi dan ruang-ruang seminar
tuhan-tuhan kecil yang seolah bisa melesatkanmu seketika ke udara
padahal sesungguhnya mereka adalah para pecundang
yang tengah mengadu nasib dengan menjadi penjual buah kuldi”
‘tuhan-tuhan kecil’ disini bukan tuhan yang digambarkan oleh para sufi dalam syair-syair keillahian, melainkan sosok-sosok yang menuhankan diri sendiri.
Memang membaca Mustafa, kita seperti diajak berkelana di rimba makna luas dan sedikit liar. Ada sedikit ‘dadaisme’ sehingga seringkali kita tidak menemukan arti secara konvensional, melainkan pemaknaan baru.
Kumpulan puisi Mustafa ini ditulis mulai dari tahun 2006 hingga 2014. Puisi-puisi ini sebagian besar pernah terbit diberbagai media nasional seperti Tempo, Kompas, Republika, Media Indonesia, dan lainnya. Sang Penyair mengaku bahwa puisi-puisi ini merupakan refleksi dari aneka pengalaman, pengamatan, serta peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu tahun tersebut.
Dalam puisi ‘kunang-kunang’, Mustafa juga memulai dengan kata ‘maafkan aku’, seperti ini awalnya:
“maafkan aku bila pada satu sore aku menemukanmu dalam gelas kopi dan meminumnya”
Entah kenapa pada rentan waktu 2006 hingga 2014 dalam puisi-puisinya senang menggunakan kalimat ‘maafkan aku’ ?

Apakah Sang Penyair dalam fase pertobatan? atau habis dapat hidayah? atau sedang menyesali dosa? atau pernah bersalah pada orang yang paling berarti dalam hidupnya? Barangkali perlu menelaah lebih jauh dan mendalam, sebab hanya Mustafa dan ‘Tuhan’ dalam pemaknaan Nabi Khidir yang lebih mengetahui.
Banyak hal menarik dan mengejutkan dalam kumpulan puisi karya penyair yang lahir di Aceh dan alumni Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta ini. Ada 45 puisi yang bisa membawa kita menemukan banyak metafora, dan bisa lebih mengenal kepenyairan Mustafa Ismail.
(selesai)
*Tora Kundera adalah penulis, pekerja seni dan aktivis kebudayaan.