Saatnya Kita Belajar Agar Orang Mau Mendengar

Oleh : Kuntjoro Pinardi

Jakarta – Kita hidup di zaman ketika semua orang bicara, tetapi semakin sedikit yang benar-benar mendengar.

Penjelasan panjang sering berakhir sia-sia, debat berubah menjadi adu emosi, dan informasi penting tenggelam dalam kebisingan.

Kita cepat menyalahkan publik yang dianggap tidak peduli.

Padahal, pertanyaan yang lebih jujur seharusnya diajukan ke diri sendiri: apakah cara kita berbicara memang layak untuk didengarkan?

Banyak orang, termasuk pejabat, profesional, dan intelektual, berbicara untuk melapor, bukan untuk dipahami. Kata-kata disusun mengikuti kebiasaan berpikir internal: teknis, meloncat-loncat, penuh istilah. Kita lupa bahwa bahasa publik bukan catatan rapat.

Bahasa publik adalah jembatan makna. Jika jembatan itu dibangun tanpa memperhatikan siapa yang akan melintas, wajar bila orang memilih menjauh.

Masalah ini bukan sekadar soal komunikasi, melainkan soal cara berpikir. Filsuf Ludwig Wittgenstein pernah mengingatkan bahwa makna tidak berada di kepala, melainkan lahir dari cara kata digunakan dalam kehidupan nyata. Makna adalah penggunaan. Ketika kata-kata terus diucapkan tetapi terlepas dari praktik hidup yang nyata, bahasa tetap berbunyi, tetapi maknanya kosong.

Di ruang publik kita, kekosongan itu mudah ditemukan. Kita bicara tentang demokrasi tanpa praktik deliberasi, tentang reformasi tanpa perubahan cara kerja, tentang rakyat tanpa benar-benar mendengar pengalaman mereka. Kata-kata menjadi ritual, istilah menjadi formalitas.

Menurut Wittgenstein, ini bukan sekadar kebohongan, melainkan bahasa yang kehilangan pijakan hidupnya.

Ketika bahasa kehilangan pijakan, kerja kolektif pun ikut kehilangan makna.

Yang lahir adalah kerja administratif tanpa pemahaman, kebijakan tanpa kejelasan arah, dan pidato tanpa pengertian. Bangsa terlihat sibuk, tetapi tidak sungguh-sungguh berpikir bersama.

Di era serba cepat dan algoritmik, kondisi ini makin parah.

Bahasa dipercepat, konteks dipotong, dan makna disederhanakan hingga nyaris hilang. Kita berbicara seperti sistem: ringkas, efisien, penuh data.

Padahal manusia tidak memahami seperti mesin. Manusia memahami melalui urutan, konteks, dan makna.

Ketika pikiran kita tidak ditata untuk dipahami, kata-kata berubah menjadi potongan informasi yang melelahkan, bukan penjelasan yang mencerahkan.

Mungkin inilah masalah mendasar ruang publik kita hari ini: bukan kekurangan informasi, melainkan kekurangan perhatian terhadap cara berpikir. Kita ingin didengar tanpa bersedia belajar bagaimana membuat orang mau mendengar.

Karena itu, sudah saatnya kita semua belajar kembali. Bukan belajar berbicara lebih banyak, melainkan belajar berpikir lebih jernih sebelum berbicara.

Belajar menyederhanakan tanpa merendahkan. Belajar menyampaikan gagasan sebagai undangan, bukan perintah. Belajar memperlambat pikiran agar makna sempat hadir.

Orang mau mendengar bukan karena kita paling benar, tetapi karena kita berbicara dengan pikiran yang tertata dan niat untuk dimengerti.

Di tengah dunia yang semakin bising, kemampuan itu bukan sekadar keterampilan komunikasi. Ia adalah bentuk tanggung jawab sosial dan mungkin, awal dari kerja bersama yang kembali bermakna.

Kuntjoro Pinardi
Institut Sains dan Teknologi Nasional (ISTN)
Dewan Pakar Maju Indonesia                          (Manifes Juang Indonesia)