Resensi Buku: Lelaki Yang Ditelan Gerimis Karya Mustafa Ismail

Oleh: Tora Kundera*

Membaca isi buku kumpulan Cerita Pendek (Cerpen) ‘Lelaki Yang Ditelan Gerimis’ pembaca pasti akan dikejutkan dengan kutipan awal di sampul buku yang bunyinya demikian “Mereka mati di ujung senjata”.

Mereka? Mati di ujung senjata? seberapa banyak kah yang mati sehingga disebut ‘mereka’, dan apakah sedang dalam situasi perang sehingga banyak yang ‘mati di ujung senjata’. Sungguh sebuah kutipan yang mencekam namun bisa menyengat kesadaran setiap orang untuk segera membaca 13 cerita yang berlatar konflik di Aceh.

Cerita-cerita ini banyak di tulis pada periode 2003 hingga 2006, dan pernah terbit di beberapa media seperti Kompas, Jawa Pos, Republika, Suara Pembaharuan, Seputar Indonesia, Lampung Post, dll.

Namun ada juga beberapa cerita yang baru ditulis dan belum sempat diterbitkan, namun masih memiliki latar cerita tentang Aceh dan Konflik serta kehidupannya pada saat di bawah situasi Daerah Operasi Militer (DOM).

Bagi pembaca yang dari kalangan aktivis mahasiswa tahun 90-an, tentu saja cerita-cerita ini akan sangat lebih mudah dilumat atau dikunyah, karena banyak kawan-kawan aktivis 90-an di Seluruh Indonesia yang memang sangat simpatik dan peduli pada nasib penindasan di Aceh yang sudah terlalu lama dan banyak memakan korban nyawa dari warga sipil.

Melalui 13 cerpen ini juga, pembaca yang belum pernah ke Aceh, akan di ajak keliling ke beberapa daerah di Aceh, nama-nama daerah dan kampung nya yang unik-unik, serta situasi dan kultur masyarakatnya.

Ada kisah tentang perjuangan dan perlawanan, kisah tentang rasa emosional antar tokoh-tokohnya, sepak terjang jurnalis di area konflik bersenjata yang mencekam, serta harapan-harapan Aceh yang damai dan rakyat bisa hidup bekerja dengan tenang.

Ada satu hal yang menarik dari Cover atau sampul buku tersebut yaitu, seorang pria yang berjalan di tenagh gerimis dengan membawa payung hitam.

Kenapa ‘Payung Hitam?’, penulis sepertinya ingin menyampaikan pesan bahwa kita tidak boleh segera lupa atas peristiwa-peristiwa kelam dalam sejarah yang terjadi. Istilah anak muda zaman ‘now’ adalah ‘Menolak Lupa’, dan payung hitam adalah simbol dari kaum aktivis kamisan yang setiap hari kamis dan sudah bertahun-tahun melakukan aksi rutin dengan slogan ‘Menolak Lupa’ atas peristiwa pembantaian warga sipil, pelanggaran Hak Azasi Manusia, kekerasan, penindasan dan banyak lagi kekejaman lain.

Meski cerita-cerita ini tidak seperti novel sejarah yang begitu detail dan mendalam mengupas tragedi dan kejadian di dalamnya, namun ‘Lelaki Yang Ditelan Hujan’ ini mampu merawat ingatan tentang kisah-kisah yang pernah ada di tanah Serambi Mekah ini.

Pada penasaran? Kasih bocoran dikit deh, ini buku diterbikan oleh Penerbit Imaji Indonesia yang alamatnya di Pondok Petir, Bojongsari, Kota Depok. Penerbit ini memang lebih sering menerbitkan karya-karya sastra. Penulisnya Mustafa Ismail adalah salah satu penggagas dan pendiri Komunitas Sastra Margonda. Kalo penasaran, buruan dapetin bukunya dan jelajahi sendiri gerimis yang menelan itu.

  • Selesai

 

*Tora Kundera, Penulis & Musisi, Aktif di Kebudayaan.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini