Oleh : Kuntjoro Pinarde
JAKARTA – Alih Fungsi Hutan 2004–2024 dan Potensi Pelanggaran Administratif pada Level Pengambil Keputusan Tertinggi Negara
Alih fungsi hutan dalam skala luas sepanjang 2004–2024 mengandung indikasi kuat adanya persoalan serius dalam tata kelola administratif di sektor kehutanan dan lingkungan hidup.
Rentang waktu ini mencakup perubahan peraturan, peralihan kewenangan pusat-daerah, dan dinamika penerbitan izin yang sangat cepat.
Dalam perspektif hukum administrasi negara, kondisi tersebut membuka peluang terjadinya maladministrasi sistemik dan potensi pelanggaran hukum oleh pejabat berwenang, bukan karena individu, tetapi karena kelemahan struktur pengawasan.
Secara hukum, setiap alih fungsi kawasan hutan wajib memenuhi ketentuan UU Kehutanan, UU PPLH, UU Tata Ruang, dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).
Ketika izin diterbitkan
– tanpa AMDAL yang layak,
– tanpa konsultasi publik,
– atau tanpa kesesuaian tata ruang,
maka terdapat indikasi perbuatan melampaui kewenangan (detournement de pouvoir) atau penyalahgunaan prosedur (abuse of procedure).
Kedua bentuk tindakan ini termasuk kategori maladministrasi dan berpotensi menimbulkan tanggung jawab hukum bagi pejabat yang mengesahkan keputusan tersebut.
Pada level tertinggi, pertanggungjawaban bersifat kebijakan (policy accountability).
Presiden tidak mengeluarkan izin teknis, namun berkewajiban memastikan bahwa seluruh regulasi, pelaksanaan, dan pengawasan pengelolaan hutan berjalan sesuai dengan mandat Undang-Undang dan UUD 1945 *Pasal 28H tentang hak atas lingkungan hidup yang baik.*
Bila kebijakan nasional memungkinkan terjadinya alih fungsi hutan secara masif tanpa pengamanan ekologis memadai, maka terdapat potensi kelalaian kebijakan (policy negligence) yang relevan dalam kajian hukum administrasi dan hukum lingkungan.
Potensi pelanggaran hukum yang lebih berat hanya dapat timbul bila terdapat *bukti tindakan melawan hukum secara langsung*, seperti
– intervensi pemberian izin,
– gratifikasi,
– atau pengabaian sengaja terhadap pelanggaran serius.
Tanpa bukti demikian, pembahasan tetap berada pada wilayah analisis struktural, yang menegaskan bahwa perbaikan tata kelola merupakan keharusan mendesak untuk mencegah kerusakan ekologis berulang.
Ketua Dewan Pakar Maju Indonesia






