Membaca Kerapuhan Manusia di Al-Zastrouw Library

Oleh: Thoriq Aziz dan Kayla

Sabtu sore, 4 Oktober 2025, suasana di Al-Zastrouw Library terasa hangat dan penuh keakraban. Di antara tumpukan buku dan aroma kopi yang menenangkan, para pegiat sastra, anggota Karang Taruna, dan pecinta puisi berkumpul untuk mengikuti kegiatan rutin semaan puisi dan diskusi buku mingguan. Kali ini, kegiatan tersebut menghadirkan pembahasan tentang “Suatu Masa di Suatu Tempat”, kumpulan cerita pendek karya Arie F. Batubara, yang menjadi refleksi mendalam tentang kerapuhan manusia dan wajah Indonesia dari masa ke masa.

Diskusi yang berlangsung dari pukul 16.00 hingga 18.00 WIB ini menghadirkan Dedy Tri Riyadi sebagai narasumber dan Beni Satria sebagai moderator. Keduanya membawa suasana yang hidup, namun tetap reflektif. Buku karya Arie F. Batubara yang ditulis pada masa 1990–2000-an dan baru diterbitkan Juni 2025 ini menjadi bahan renungan bersama akan perjalanan manusia Indonesia di tengah pergolakan sosial dan politik. Suasana diskusi terasa intim, seolah setiap peserta diajak menelusuri arsip ingatan bangsa melalui potongan-potongan kisah sederhana namun menggugah.

Buku ini memuat cerita-cerita yang lahir dari masa peralihan antara Orde Baru dan Reformasi, masa di mana ketegangan sosial dan harapan baru saling bertemu. Arie F. Batubara menghadirkan kisah manusia biasa dalam pusaran perubahan besar. Cerpen-cerpennya tidak hanya bercerita tentang cinta dan kehilangan, tapi juga tentang keteguhan manusia dalam menghadapi sejarah yang tak selalu berpihak.

Penulis kelahiran Sumatera tersebut bercerita, bahwa, “proses lahirnya buku ini pun unik—naskah-naskah yang digunakan bukan hasil seleksi karya terbaik, melainkan naskah-naskah yang ditemukan kembali di arsip digital pribadi,” ungkapny. Hal itu menjadikan buku ini seperti mozaik kenangan yang menyatukan masa lalu dan masa kini dalam satu napas sastra.
Dalam pembahasan yang mengalir, Dedy Tri Riyadi menekankan bagaimana Arie F. Batubara menulis dengan kejujuran yang jarang ditemui. Setiap cerita seolah menjadi potret manusia yang terjebak di antara cinta, sejarah, dan keadaan. Tema besar yang diangkat berkisar pada hubungan manusia dengan sejarah-politik, budaya-identitas, dan relasi pribadi. Tokoh-tokohnya bukan pahlawan besar, melainkan manusia biasa—guru, petani, ibu rumah tangga, dan pemuda kampung—yang membawa luka dan harapan mereka masing-masing.
Bahasa yang digunakan dalam karya-karya Arie terasa sederhana, namun justru di sanalah kekuatannya. Ia mampu menggerakkan perasaan tanpa harus bermain dengan metafora yang rumit. Pembaca seolah diajak masuk ke kehidupan sehari-hari, menatap wajah Indonesia dari balik jendela rumah-rumah kecil di kampung atau lorong-lorong kota yang sunyi. Setiap cerita membawa pesan bahwa cinta dan kerapuhan adalah dua sisi dari keberadaan manusia yang tak bisa dipisahkan. Cinta dalam karya Arie bukan hanya perasaan romantis, melainkan bentuk perlawanan dan penerimaan atas realitas yang pahit.

Diskusi sore itu juga menjadi ruang bagi peserta untuk membandingkan kisah masa lalu dengan kenyataan hari ini. Mereka menemukan bahwa kegelisahan manusia Indonesia belum banyak berubah. Ketimpangan sosial, krisis identitas, dan kecemasan terhadap masa depan masih terus hadir dalam bentuk baru—terutama di era digital dan krisis ekologis yang semakin nyata. Cerita-cerita Arie terasa tetap hidup, seolah menegaskan bahwa waktu boleh berganti, tetapi luka dan harapan manusia tetap sama.
Kegiatan ini menjadi bagian dari rangkaian Semaan Puisi dan haul sastrawan yang diadakan setiap Sabtu oleh Karang Taruna RW 08 bersama Al-Zastrouw Library. Setiap pekan, mereka mengangkat tema yang berbeda-beda, menggabungkan pembacaan puisi dengan dialog sastra dan refleksi sosial. Acara ini bukan hanya tempat berbagi karya, tetapi juga ruang belajar dan tumbuh bagi generasi muda yang ingin memahami sastra dari sisi yang lebih dalam. Suasana kekeluargaan yang terbangun membuat kegiatan ini terasa lebih dari sekadar diskusi—ia menjadi ruang perjumpaan antara gagasan, perasaan, dan semangat kebersamaan.
Puncak kegiatan ini direncanakan akan digelar pada 28 Oktober 2025 di Makara UI (Universitas Indonesia). Di sana, para peserta semaan puisi dari berbagai pekan akan berkumpul untuk menampilkan hasil refleksi mereka dalam bentuk pembacaan puisi, musik, dan dialog kebudayaan. Kegiatan ini diharapkan menjadi wadah untuk terus menyalakan semangat literasi dan memperkuat hubungan antar generasi dalam dunia sastra Indonesia.

Melalui kegiatan semaan puisi dan diskusi buku seperti ini, Karang Taruna RW 08 bersama Al-Zastrouw Library tidak hanya menjaga tradisi sastra, tetapi juga menghidupkan kembali semangat berpikir dan merenung di tengah kehidupan yang serba cepat. Dari kisah-kisah Arie F. Batubara, para peserta belajar bahwa sastra bukan hanya tentang tulisan, melainkan tentang bagaimana manusia memahami dirinya sendiri di tengah sejarah yang terus berjalan.