Sila ke 4 Pancasila, Kerakyatan yang dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
Kerakyatan, kemasyarakatan, ke-sosial-an atau hal terkait dengan cara pandang bermasyarakat, yang identik kita sebut sebagai sosialisme.
Sosialisme adalah sebuah keniscayaan di dalam budaya dan kehidupan bangsa Indonesia, bekerja, berdagang, bertani, melaut, beternak, dan semua aspek kehidupan sehari-hari. Nongkrong diwarung kopi, berolahraga, berkesenian dan berkebudayaan.
Kehidupan itu sebagai faktisitas (keterhempasan manusia yang lahir di bumi Nusantara ini), memiliki nilai budaya, norma, etika dan sopan-santun ( khidmat,takzim), yang kesemua itu terangkum di dalam perbuatan, tutur kata, tindakan di dalam lingkup sosial kemasyarakatan, baik ia seorang buruh, petani, pedagang, birokrat dan pejabat/ penguasa patut menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut.
Nilai-nilai itu dimanifestasikan ke dalam orkestrasi (nada dan irama kehidupan bermasyarakat ) dalam ruang lingkup rumah tangga (keluarga) / RT/RW/ Lurah/Camat/ Bupati /Walikota/ Gubernur/Menteri sampai kepada kepala negara (presiden).
Nilai-nilai itu dipimpin melalui penghormatan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam ucapan dan tindakan secara bijaksana ( dari hati nurani/ akal sehat, intiusi yang tajam) dalam sebuah permusyawaratan perwakilan ( keterwakilan ),melalui tahapan bertenjang, dengan sebuah pemilihan umum. Aspirasi masyarakat diwakilkan kepada permusyawaratan ( DPRD, DPD, DPR-RI, Pilpres).
Mencermati sila ke-4 ini, ada hal yang kurang pantas dan kurang sebagai seorang pemimpin negara dalam mengimplementasikan kata-kata khidmat kebijaksanaan menjadi hal yang nihil pada konteks Pemilu di tahun 2024. Pemerintah dalam hal ini Presiden penyenggara pemilu (KPU), serta instansi kementerian dan perangkat daerah serta desa tidak menjalankan Amanat dan kewajibannya sesuai dengan tanggung jawab yang diembannya hal itu secara otomatis telah mengangkangi Pancasila Sila ke-4. Ada terkait pada praktek-praktek yang diindikasi kecurangan pemilu, yang dilakukan oleh oknum dan para pihak yang secara kepentingan bersinggungan didalamnya. Kecurangan itu nampak jelas dimuka umum dan tidak hanya satu terjadi dibeberapa daerah, manipulasi dan indikasi penggelembungan suara, pengerahan aparatus negara yang diintimidasi dan pejabat negara yang tidak netral.
Bagaimana pemerintah yang notabe sebagai penjaga (Avant garde) dan pengamal utama Pancasila justru malah mengkhianati nilai-nilai luhur yang terkandung pada kata khidmat kebijaksanaan itu!!?.
Nilai khidmat kebijaksanaan Ini sangat kontraproduktif yang bertolak belakang dari penyenggaraan pemilu yang bebas dari nepotisme dan politik dinasti, sungguh sangat tidak pantas sebagai penyenggara negara.
Kerakyatan atau sosialisme menjadi rusak akibat perbuatan penyenggara negara, yang tadi sudah disebutkan pengajaran satu persatu di atas.
Presiden telah mencederai rakyatnya ,mencederai keniscayaannya ,dan mencerai nilai-nilai moral dan etika, ia hanya berpikir untuk hal yang sempit, mementingkan kelompok, diri dan keluarganya. Sifat-sifat ini sangatlah dicela oleh Pancasila sebagai dasar pegangan bernegara orang-orang Indonesia. Siapa pun ia yang mengaku orang Indonesia tanpa terkecuali ,ia harus paham betul jati dirinya, ia harus paham betul sejarah bangsanya,dan ia harus paham betul moral dan etika yang berlaku di dalam masyarakat baik itu moral berbangsa dan bernegara.
Khidmat kebijaksanaan terkikis oleh pandangan yang sangat individualistik, egois, tafsir kebenaran ada padanya, orang lain tidak penting dan tidak berarti dimatanya.
* Penulis adalah Alumni Filsafat UGM