KECURANGAN TERORGANISIR PADA AJANG FLS3N

Oleh: Anto RistarGie
(Praktisi Seni Budaya dan Pemerhati Etika Kompetisi Pendidikan Seni)

Pernahkah kita menyaksikan anak-anak meneteskan air mata bukan karena kalah, tapi karena tahu bahwa mereka telah dikalahkan oleh sistem yang tidak adil? Inilah yang terjadi dalam beberapa ajang lomba pendidikan seperti FLS3N (Festival dan Lomba Seni Siswa-Siswi Nasional), di mana kecurangan dan kolusi telah menjadi praktik yang dianggap biasa.

Festival dan Lomba Seni Siswa-Siswi Nasional (FLS3N)—yang sebelumnya FLS2N—seharusnya menjadi ruang suci bagi siswa mengekspresikan kreativitas, merayakan bakat, dan mengasah karakter melalui seni. Namun, kenyataannya tak seindah idealismenya. Di balik panggung karya-karya yang ditampilkan dengan bangga, terjadi sesuatu yang meresahkan: kecurangan yang terorganisir dan sistemik dalam proses penilaian.

Kecurangan dalam lomba bukan hal baru. Tapi ketika itu terjadi dalam ajang nasional pendidikan, yang melibatkan siswa, guru, dan instansi pemerintahan, persoalannya bukan lagi sekadar teknis—ini adalah krisis moral.

Pola Kecurangan yang Sudah Terstruktur
Dari berbagai testimoni dan pengamatan lapangan, pola-pola kecurangan dalam FLS3N tampak begitu terang:
1. Pemenang “diatur” sebelum karya dipresentasikan.
2. Relasi personal antara panitia, juri, atau institusi menjadi jalan pintas untuk menang.
3. Karya siswa bukan hasil orisinal, melainkan buatan guru atau pihak profesional luar.
4. Juri tidak independen, bahkan ada yang memiliki konflik kepentingan dengan peserta.

Jika itu semua dianggap normal, maka kita sedang mewariskan warisan busuk kepada generasi penerus: bahwa kompetisi bukan soal usaha, tapi koneksi.

Dampaknya Bukan Sekadar Nilai
Yang dirugikan bukan hanya peserta yang kalah secara curang, tapi citra pendidikan itu sendiri. Anak-anak belajar dari apa yang mereka alami, bukan hanya dari apa yang diajarkan. Ketika mereka melihat bahwa kejujuran tidak membuahkan hasil, dan bahwa jalur belakang lebih efektif dari kerja keras, maka mereka akan menanam nilai-nilai itu dalam hidup mereka.

Apa jadinya jika generasi muda kita tumbuh dengan keyakinan bahwa integritas adalah beban, dan manipulasi adalah strategi?

Selain itu, guru-guru idealis yang membina dengan tulus akan merasa dikalahkan oleh mereka yang bermain sistem. Seni bukan lagi ekspresi diri, melainkan formalitas untuk mengejar tropi. Dan FLS3N, yang seharusnya menjadi panggung pendidikan karakter, berubah menjadi panggung manipulasi prestasi.

Juri dan Amanah Moral
Peran juri bukan sekadar administratif—ia adalah penjaga marwah keadilan. Setiap nilai yang ditulis bukan hanya menentukan pemenang, tetapi mencerminkan integritas sang juri sendiri. Maka, di tengah tekanan dari panitia, dinas, atau bahkan sistem yang korup, juri tetap punya pilihan: berdiri pada kejujuran, atau tenggelam dalam kompromi.

Dan yang lebih penting: keputusan itu bukan hanya dipertanggungjawabkan kepada manusia—tetapi kepada Tuhan. Skor bisa direkayasa, tapi nurani tidak bisa dibohongi.

Sanksi nyata. Baik panitia, juri, maupun institusi pendidikan yang terbukti curang harus diberi sanksi tegas administratif dan moral.

Bukan Hanya Soal Siapa yang Menang
Kita harus bertanya ulang: apa tujuan dari perlombaan di dunia pendidikan? Jika jawabannya adalah prestise, maka yang terjadi hanyalah perlombaan citra. Tapi jika kita percaya bahwa pendidikan adalah pembentukan manusia, maka setiap proses—termasuk lomba—harus mencerminkan nilai luhur: kejujuran, kerja keras, dan integritas.

Karena pada akhirnya, kemenangan yang tidak lahir dari proses yang jujur bukanlah prestasi—melainkan pencurian mimpi dari mereka yang pantas mendapatkannya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini