JAKARTA [ArahMerdeka] — Aktifitas Gunung Api Lewotobi Laki-Laki di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) meningkat dalam beberapa hari ini.
Mengutip ANTARA, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan hasil analisis visual dan instrumental mengatakan, “Bahwa tingkat aktivitas Gunung Api Lewotobi Laki-laki masih tetap pada Level IV (Awas),” kata Kepala Badan Geologi Muhammad Wafid dalam keterangan yang diterima di Labuan Bajo, Rabu.
Kabar terakhir, Kementerian Perhubungan menutup sementara aktivitas tiga bandar udara (bandara) di sekitar Gunung Lewotobi Laki-Laki di Nusa Tenggara Timur (NTT), yakni Bandara Fransiskus Xaverius Seda di Maumere, Bandara Turelelo (Bajawa Soa Airport) dan Bandara H. Hasan Aroeboesman di Ende.
“Saat ini, ada tiga bandara yang ditutup operasionalnya akibat erupsi Gunung Lewotobi. Yakni ada Bandar Udara Fransiskus Xaverius Seda di Maumere hingga 19 Juni 2025 pukul 06.00 WITA,” kata Kepala Otoritas Bandar Udara Wilayah IV Cecep Kurniawan saat dikonfirmasi, Kamis (19/6/2025).
Tapi terlepas dari erupsinya yang berdampak pada aktifitas penerbangan, kita juga perlu tahu kisah gunung kembar ini.
Kisah Gunung Lewotobi selalu menjadi bagian menarik dari cerita rakyat yang berkembang di kawasan Nusa Tenggara Timur.
Sebagai salah satu gunung berapi yang terkenal, Gunung Lewotobi tidak hanya memiliki keindahan alam, tetapi juga menyimpan legenda yang melekat di hati masyarakat setempat.
Mengutip jurnal Mitigasi Bencana Gunung Api Lewotobi Laki-laki Berbasis Kearifan lokal Masyarakat Desa Nawokote di Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, Mare, dkk., (2021), Kabupaten Flores Timur adalah salah satu kabupaten yang memiliki gunung api aktif bernama Gunung Lewotobi.
Kisah Gunung Lewotobi
Gunung Kembar Lewotobi terletak di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), merupakan gunung api kembar yang memiliki dua puncak, yaitu Gunung Lewotobi Laki-laki dan Gunung Lewotobi Perempuan.
Asal Usul Nama dan Legenda
Gunung Lewotobi memiliki nama asli Ile Bele, yang berarti “Gunung Besar”. Menurut cerita rakyat, gunung ini diyakini sebagai nenek moyang dari kedua puncak tersebut.
Masyarakat setempat memandang kedua gunung sebagai simbol pasangan suami-istri, di mana Lewotobi Laki-laki memiliki ketinggian 1.584 mdpl dan Lewotobi Perempuan lebih tinggi, mencapai 1.703 mdpl.
Legenda mengisahkan tentang dua pasangan suami istri, Puka dan Tobi, yang hidup berdampingan.
Puka dan Tobi sepakat bahwa jika anak perempuan lahir dari keluarga Puka, maka Puka akan menjadi Mame (Om) bagi Tobi, dan sebaliknya jika anak laki-laki lahir dari keluarga Tobi, Tobi akan menjadi Opu (Ipar) bagi Puka.
Ketika anak perempuan lahir dari Tobi, Puka merasa terikat sebagai Mame. Dalam upaya untuk membangun gunung dari pasir dan batu, Puka mengalami kegagalan hingga suku Tobi datang membantu dengan memasang tempurung di puncak gunung yang dibuatnya.
Aktivitas Vulkanik

Gunung Kembar Lewotobi dikenal dengan aktivitas vulkaniknya yang terus-menerus. Sejak abad ke-20, kedua puncak ini sering mengalami erupsi yang berdampak pada lingkungan dan kehidupan masyarakat sekitar.
Ahli vulkanologi John Seach mencatat bahwa Lewotobi adalah tipe gunung berapi andesit dengan letusan magmatik eksplosif. Sejarah erupsi Gunung Lewotobi antara lain terjadi pada tahun 1932 mulai menunjukkan aktivitas erupsi, tahun 1939 terjadi letusan besar, tahun 1999 letusan paling merusak dengan semburan lava dan kebakaran hutan, dan sekarang tahun 2025 Gunung Lewotobi Laki-laki sebelumnya dilaporkan kembali mengalami erupsi, tinggi kolom abu mencapai 10.000 meter di atas puncak atau sekitar 11.584 meter di atas permukaan laut. Kolom abu berwarna kelabu pekat dengan intensitas tebal, menyebar ke hampir semua arah mata angin (https://www.antaranews.com/berita/4906621/erupsi-gunung-lewotobi-memaksa-tim-pga-evakuasi-mandiri-ke-tempat-aman)
Ritual dan Penghormatan

Masyarakat Suku Puka masih melestarikan penghormatan terhadap Suku Tobi melalui ritual adat yang disebut Tuba Ile.
Dalam ritual ini, Suku Puka dan Suku Tobi memberikan sesajen kepada nenek moyang sebagai bentuk pengakuan atas hubungan sejarah yang terjalin antara kedua suku tersebut.
Gunung Lewotobi bukan hanya sekadar fenomena alam, gunung ini merupakan simbol identitas budaya dan spiritual bagi masyarakat Flores Timur.
Kisah Gunung Lewotobi tidak hanya menjadi warisan budaya lokal, tetapi juga menggambarkan keunikan tradisi yang dimiliki oleh masyarakat sekitar. Dengan melestarikan cerita-cerita ini, masyarakat turut menjaga identitas dan kekayaan budaya. (Fikah)