Ketua Manifes Juang Indonesia DKI : Ingatkan Ancaman Banjir Ibu Kota Jakarta

Jakarta,Arahmerdeka.com – Ancaman banjir di Jakarta semakin nyata akibat kombinasi antara faktor alam dan antropogenik. Data terkini menunjukkan banjir besar pada bulan Maret 2025 yang lalu menewaskan 9 orang dan lebih dari 90.000 jiwa korban mengungsi di Jabodetabek.

Ketua Manifes Juang Indonesia (Maju Indonesia) Wilayah DKI Jakarta, Ayomi Mahayu menjelaskan bahwa Banjir di Jakarta sudah terjadi sejak zaman Kerajaan Tarumanegara pada abad ke-4. Rajanya, Purnawarman yang memerintah pada saat itu untuk melakukan upaya mengatasi banjir dengan menggali Sungai Candrabhaga dan Sungai Gomati. Perintah itu tercatat dalam Prasasti Tugu, yang ditemukan di Kampung Batutumbuh, Desa Tugu, Koja, Jakarta Utara.

Ayomi Mahayu sebagai Alumni ITB mengajak semua pihak untuk melihat kembali ke belakang agar menjadi acuan Pemerintah DKI ke depannya pentingnya memelihara dan menjaga fungsi sungai sebagai tempat penampung air di musim penghujan, Ayomi juga mengatakan bahwa ” Prasasti Tugu merupakan salah satu peninggalan sejarah Kerajaan Tarumanegara yang paling terkenal, didalamnya berisi tentang penggalian sungai-sungai untuk mencegah banjir dan kekeringan di wilayah Tarumanegara “. Wilayah itu mengalami perubahan dari Jayakarta (1527) ke Batavia (1619), hingga menjadi Jakarta (1942) yang sekarang berumur 498 tahun. Di era Batavia, Pada tahun 1621, Jan Pieterszoon Coen meminta Simon Stevin merancang kota di muara Sungai Ciliwung untuk mengatasi banjir, mirip seperti kota Amsterdam di Belanda.

Baru di pemerintahan Era Reformasi, Sodetan Sungai Ciliwung terealisasi yaitu proyek yang bertujuan untuk mengurangi banjir di Jakarta dengan mengalihkan sebagian debit air dari Sungai Ciliwung ke Kanal Banjir Timur (KBT) melalui Sungai Cipinang. Proyek ini menggunakan teknologi terowongan ganda dengan diameter dalam 3,5m dan diameter luar 4,05m, serta panjang total 1.161m. Selesai diresmikan tahun 2023, menyerap 500 orang tenaga kerja, dan menghidupkan UMKM setempat. Sodetan itu juga mengurangi luas genangan banjir dari 464 Ha menjadi 211Ha termasuk debit banjir sebesar 187 m³/s.

Sekarang ini, penurunan permukaan tanah hingga 25 cm/tahun di pesisir utara serta proyeksi PBB bahwa seperempat wilayah kota Jakarta akan tenggelam pada tahun 2050 semakin memperburuk situasi.

Curah hujan ekstrem selama bulan Desember-Maret mendatang menyebabkan luapan sungai Ciliwung dari hulu di Bogor, ditambah dengan topografi dataran rendah di mana 24.000 Ha wilayah utama berada di bawah permukaan laut.

Faktor keterlibatan manusia terkait konversi lahan hijau menjadikan bangunan, erosi, sedimentasi, dan penurunan permukaan tanah akibat ekstraksi air tanah, yang meningkatkan luasan banjir diperkirakan hingga 110,5 km² di tahun 2050.

Kerugian ekonomi dari banjir tahun 2025 mencapai Rp1,69 triliun, terutama di sektor perumahan. Dampak banjir tahun 2025 telah merendam 114 RT di Jakarta, dengan ketinggian hingga 3,1 meter, berdampak pada 11.000 jiwa di Jakarta, Bekasi 61.000 jiwa, dan 3 orang meninggal dunia akibat sengatan listrik.

Ancaman rob saja puncaknya terjadi pada 5 Desember 2025 kemarin di 12 wilayah, dengan populasi manusia diproyeksi naik 10 juta jiwa dalam 25 tahun ke depan. Dampak turunannya termasuk penyakit pasca-banjir dan lumpuhnya aktivitas kota.

Adapun solusi yang bisa ditawarkan saat ini adalah menerapkan Nature-Base Solutions (NBS), seperti merestorasi kawasan mangrove, mengembalikan ekosistem sungai, mengevaluasi drainase, dan melakukan penghijauan untuk meningkatkan retensi air. Hentikan pembangunan di zona hijau, berkoordinasi dari hulu ke hilir dengan Pemprov Jabar dan Banten, serta memastikan infrastruktur seperti pompa banjir optimal melalui pendekatan antisipatif, produktif, cerdas, dan terpadu. Libatkan masyarakat secara partisipatif melalui peraturan UU 30/2014 untuk perencanaan tata ruang yang berkelanjutan.

Ayomi mengingatkan ancaman banjir Jakarta setiap tahunnya. Pemerintah DKI Jakarta dinilai gagal menanggulangi banjir karena kurangnya “political will” guna mengoreksi kebijakan ruang yang eksploitatif, meskipun banjir secara hidrometeorologi mendominasi bencana di wilayah Indonesia. Disamping itu, kata Ayomi,
pembangunan yang dilakukan akan terus menggerus lahan resapan tanpa ada kesepakatan memperbaiki di hulu-hilir, agar efektif ditanggulangi, sehingga kejadian banjir tahun 2020 tidak terulang kembali. Ayomi juga mengingatkan, desakan para aktifis lingkungan, mahasiswa, NGO, dan komunitas agar penanganan banjir terintegrasi dan partisipatif tidak diabaikan, hal tersebut menunjukkan ketidakseriusan Pemprov DKI dalam menata dan mengelola banjir di Ibu kota.