
JAKARTA – Wakil Gubernur Daerah Khusus Jakarta, H. Rano Karno, menyampaikan Orasi Kebudayaan ditengah-tengah ratusan penyair dari seluruh daerah di Indonesia dan beberpa penyair dari luar negeri yang hadir antara lain Malaysia, Singapur, Brunei Darusalam dan Thailand pada hari kedua Pertemuan Penyair Nusantara Ke-13 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki Jakarta, Jumat (12/9).
Materi Orasi Budaya Wakil Gubernur Jakarta H. Rano Karno:
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Salam sejahtera bagi kita semua,
Om Swastiastu, Namo Buddhaya, Salam Kebajikan.
Ngobrol bareng teman sambil makan cuanki,
Dilanjut nyemil sepiring tahu isi,
Malam hari datang ke Taman Ismail Marzuki,
Saksikan para penyair beraksi dan berekspresi.
Hadirin yang saya hormati, para penyair Nusantara dan sahabat-sahabat yang datang dari berbagai negeri; para kurator, budayawan, pelajar, dan segenap warga kota yang hadir di tempat ini,
malam ini kita berkumpul di Teater Kecil—tempat kita baku bicara, menautkan makna, dan menghayati kebersamaan. Kita berkumpul bukan sekadar demi sebuah perhelatan, tapi juga untuk memperbarui janji: bahwa Jakarta selamanya akan menjadi kota yang bersedia mendengar, kota yang sanggup menampung perbedaan, kota yang sudi menjadi rumah bagi siapa saja yang datang membawa niat baik sambil membacakan bait-bait puisi.
Pertemuan Penyair Nusantara (atau PPN) ke-13 menjahit hari-harinya di Jakarta sejak kemarin hingga lusa mendatang. Perjalanan yang kita lakukan tentu bukan sekadar agenda ataupun mata acara, melainkan koreografi yang mengingatkan kita bahwa kota ini dibangun oleh persekutuan antara seni pertunjukan, literasi, ruang publik, dan kearifan bahasa.
Di kota ini, puisi selalu punya bangku kosong untuk siapa pun yang ingin duduk. Jakarta tidak pernah selesai menulis dirinya. Setiap pagi kota ini membuka halaman baru—diinterupsi oleh bising klakson, digarisbawahi oleh kumandang azan dan lonceng gereja, serta diwarnai puluhan—atau mungkin ratusan bahasa yang saling melintas. Maka, wajar jika Jakarta bisa memamerkan seluruh kamus negeri ini sekaligus menulis kamus tentang kebhinnekaan. Di sinilah, gerbang kebudayaan berdiri. Sebuah gerbang yang tidak menanyakan asal-usul, melainkan menawarkan sapaan selamat datang untuk semua yang bertandang.
Saya berdiri di sini bukan hanya sebagai wakil gubernur, melainkan sebagai anak Betawi asal Gang Kepu, Kemayoran, yang pernah dititipkan sebuah cerita. Puluhan tahun silam, sebuah buku mengalir menjadi film, dan dari film itu tumbuh sinetron yang meminjam wajah kampung, nada bicara khas seorang ibu, beserta impian anak-anaknya. “Si Doel” mengajari saya bahwa sastra bisa menyuapi televisi dengan nasi hangat, dan televisi bisa mengembalikan uapnya ke ruang tamu warga. Dialek Betawi yang dulu disangka sempit, ternyata sanggup berjalan jauh melewati tembok. Kesenian menembus batas suku dan etnik, bukan karena ia tak punya identitas, melainkan karena identitasnya ialah keramahtamahan.
Kita tahu, Jakarta mendapat pengakuan dari UNESCO pada tahun 2021 sebagai City of Literature. Ini adalah amanah agar kota ini menjaga dan memperluas ekosistem literasinya lewat sekolah yang membuka jendela bacaan, taman yang menyediakan kursi untuk menyimak senja, perpustakaan yang tak gentar membuka katalog, penerbit yang berani mencoba penulis baru, serta panggung yang ramah bagi pembacaan puisi dan musik kata. Di antara matriks ekonomi, konektivitas, dan inovasi, ada satu yang sering dianggap “lunak” padahal tulang belakangnya kokoh dan tegap, yakni pengalaman budaya. Cultural experience! Di sinilah sastra, musik, teater, film, seni rupa, dan tradisi kuliner menyusun reputasi yang tak bisa dipalsukan, yaitu keintiman warga dengan seni.
Sebagai kota kosmopolit, Jakarta tumbuh dari lalu lintas manusia, gagasan, dan barang. Kosmopolisme bukan soal gedung tinggi yang pongah atau lampu yang tak pernah padam, melainkan soal kemampuan menyapa yang lain tanpa rasa gentar. Betawi, tulang punggung identitas kota ini, lahir dari pertemuan pelabuhan dan daratan, dari doa di surau dan langkah di pasar, dari bahasa Portugis yang menyelinap dalam kata, dari nada Arab yang menyatu dalam azan, dari jejak Cina di cap go meh, dari rasa India pada bumbu, dari lembut Jawa pada laku, dari keluwesan Sunda saat bercengkrama, dan seunggun keragaman budaya lainnya. Kosmopolisme Betawi itu sederhana. Betawi tidak menolak yang berbeda; melainkan ia mendekap, merangkul, lalu diberi gelar “saudara”.
Lantaran itulah, kebudayaan bukan pelengkap pembangunan, melainkan mesin penggerak. Ekonomi kreatif tidak jatuh dari langit; ia tumbuh dari tanah tempat bahasa satu dengan lainnya saling menyapa. Industri film tidak akan hidup jika kota tidak menyediakan kisah dan latar. Penerbitan tidak akan berkembang jika sekolah menutup pintu imajinasi. Musik tidak menemukan pendengar jika trotoar tidak memberi ruang senandung. Maka, kebijakan kota harus memperlakukan kebudayaan sebagai infrastruktur yang mengalirkan makna sebagaimana pipa mengalirkan air.
Kita telah menyusun langkah-langkahnya. Pertama, Mas Pramono Anung dan saya sepakat untuk memperbanyak “ruang ketiga” berupa taman, balai warga, dan sudut-sudut baca—yang menyediakan pertemuan lintas identitas. Jakarta akan menghidupkan kembali konsep taman sebagai tempat berkumpul warga, bukan sekadar hiasan kota. Yakni, tempat di mana pentas akustik bersanding dengan pembacaan puisi; tempat di mana kelas menulis gratis bertetangga dengan senam emak-emak; tempat di mana anak-anak menyentuh buku pertama mereka tanpa harus takut salah.
Kedua, kami ingin memperkuat ekosistem literasi dengan mendorong “diplomasi buku” bersama kota-kota sahabat. Kita ingin buku-buku Jakarta menyeberang bahasa, dan sebaliknya buku-buku sahabat menyapa pembaca kita. Sebab kita tahu, penerjemahan adalah jembatan persahabatan yang menyingkat jarak. Jakarta menggarisbawahi pentingnya penerjemahan dalam kebijakan penerbitan, agar karya sastra kita dapat hidup dalam banyak lidah.
Ketiga, mendukung perancangan model penghargaan sastra yang kredibel dan inklusif. Penghargaan bukanlah “puncak podium” semata; ia adalah sistem yang memacu kualitas, membangun perbincangan, dan memberi kalender bagi publik untuk menantikan karya-karya terbaik. Workshop, kurasi, dan diskusi publik mesti menyertai penganugerahan—bukan sebagai seremoni, melainkan proses belajar terus menerus. PPN ke-13 menempatkan perbincangan ini secara khusus, agar kita tidak lelah merumuskan cara-cara yang adil untuk merayakan mutu.
Keempat, menguatkan diplomasi budaya. Di forum ini, kita menyebut ASEAN dengan nada akrab. Kita ingin puisi menjadi duta yang paling fasih karena ia bisa menyeberang tanpa membutuhkan visa. Puisi selalu berhasil meluluhkan cuaca yang tak bersahabat. Tema “Puisi untuk Persaudaraan dan Perdamaian” kita bawa sebagai kompas: supaya kata-kata tidak menjadi pisau, melainkan jembatan; supaya bait-bait tidak menyulut bara, melainkan meredakan api.
Kelima, menegakkan “akses” sebagai kata kunci. Dari penginapan para peserta hingga bus Transjakarta yang membawa kita berpindah lokasi; dari panggung yang dibuka di TIM hingga perpustakaan yang memeluk kita di Merdeka Barat; dari puncak Monas yang mengajak kita memandang kota sebagai teks terbuka hingga malam penutupan di Badan Bahasa yang menyimpulkan kalimatnya—maka, PPN ke-13 membuktikan bahwa kebudayaan butuh logistik yang rapi. Kota yang peduli seni adalah kota yang cermat mengantar senimannya naik ke atas panggung.
Hadirin yang berbahagia,
Kebudayaan memperkuat Jakarta sebagai kota global bukan karena kita ingin “terlihat” di mata dunia, tetapi karena di sanalah marwah kita sebagai manusia dirawat. Global bukan berarti seragam; global justru berarti mampu bertukar tanpa kehilangan jati diri. Kita menampung festival film internasional, pameran seni rupa, biennale, konser musik dunia—namun di saat yang sama kita menjaga gambang kromong tetap bernapas, lenong tetap berkelakar, palang pintu tetap mengajarkan adab, dan kuliner Betawi tetap menanak aroma di gang-gang kecil. “Global city” bukan panggung monolog; ia orkestra yang memberi ruang untuk solo Betawi, duet Minang, koor Jawa, improvisasi jazz, dan bait Arab yang lirih. Semua itu akan memantapkan langkah kita menuju kota global: karena dunia akan percaya pada kota yang juga percaya pada warganya; dan warga akan percaya pada kota yang percaya pada imajinasinya.
Hadirin yang saya muliakan,
Tak lupa, kita akui: kemajuan tidak selalu berjalan mulus. Ada saat-saat ketika situasi politik dalam negeri mengganggu harmoni. Namun kota ini, bersama masyarakatnya, berkali-kali membuktikan ketabahan. Kesadaran warganya dan kerja keras kita semua, membuat Jakarta tetap menjadi tolok ukur bagi banyak perihal. Seniman di banyak tempat masih menyimak Jakarta. Bukan untuk meniru, melainkan untuk berdialog. Maka wajar jika PPN ke-13 memercayakan panggung ini kepada Jakarta; bukan karena kota ini sempurna, melainkan karena Jakarta selalu bersedia belajar dan menyerok pengetahuan dari siapa saja.
Kepada para sahabat dari Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Thailand, juga dari negeri-negeri sahabat lain yang hadir di forum ini—terima kasih telah membawa suara dan aksara dari seberang. Di sini, di antara kita, segala aksen menjadi mungkin, segala diksi punya ruang. Mari kita perkuat kerja sama; mari kita tulis proyek bersama: antologi, festival lintas kota, pertukaran residensi, dan pembacaan bersama di ruang publik. Sebab diplomasi budaya adalah seni bertukar yang paling indah, di mana tak ada yang kehilangan karena semuanya memperoleh, semuanya mendapat.
Pada akhirnya, saya ingin kembali ke kalimat pembuka: Jakarta adalah kota yang bersedia mendengar. Jika puisi adalah telinga, maka Jakarta adalah kepala yang tak segan menunduk agar bisa menyimak lebih dekat. Bila selama ini kota berlari dengan peta infrastruktur keras, biarlah Jakarta melengkapi langkahnya dengan peta infrastruktur makna. Kita bangun jembatan baja, tapi jangan lupa membangun jembatan kata. Kita dirikan gedung tinggi, tapi jangan lupa menumbuhkan pohon metafora. Kita sibuk mengukur panjang jalan, tapi jangan lupa mengukur dalamnya perasaan yang menyusuri setapak di atasnya.
Maka, marilah kita teruskan PPN ini dengan tekun, sambil terus bergembira. Nikmati setiap bait dan jedanya. Mari rangkul perbedaan seperti kawan lama yang baru tiba. Dan ketika nanti kita turun dari panggung, jangan biarkan puisi kembali menjadi barang mewah di rak-rak sunyi. Biarlah ia hidup di jalan: di poster yang menahan panas matahari, di pengumuman kecil di meja kelurahan, di stiker-stiker anak sekolah, di layar ponsel yang mengantuk pada sebuah bus malam yang tengah menjelajah.
Sebagai penutup, izinkan saya menyampaikan pantun.
Makan soto lengkap pakai koya,
Dinikmati dengan semangkuk nasi,
Mari dukung para sastrawan terus berkarya,
Perkuat citra Jakarta jadi Kota Literasi
Di waktu luang pergi ke Perpustakaan,
Baca berbagai buku, hilangkan rasa bosan,
Acara PPN jadi ruang dialog kebudayaan,
Perkuat kerja sama di kawasan ASEAN.
Terima kasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Om Shanti Shanti Shanti Om. Namo Buddhaya.